Sabtu, 09 Oktober 2010

Tiga Masalah Penting Dalam Sholat

TIGA MASALAH PENTING DALAM SHALAT (1)
Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
  Segala puji hanya milik Allah semata, shala-wat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada hamba dan utusanNya, yaitu Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba`du:
Berikut ini adalah uraian singkat tentang sifat (tata cara) shalat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Penulis ingin menyajikannya kepada setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, agar siapa saja yang membaca-Nya dapat bersungguh-sungguh dalam mencontoh (berqudwah) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. di dalam masalah shalat, sebagaimana sabda beliau:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.(HR. Al-Bukhari).
Kepada para pembaca, berikut ini uraiannya:
1. Menyempurnakan wudlu;
(Seseorang yang yang hendak melakukan shalat) hendaknya berwudlu sebagaimana yang diperintahkan Allah; sebagai peng-amalan terhadap firmanNya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah muka kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan (cucilah) kedua kaki kalian hingga kedua mata kaki…” (Al-Ma’idah: 6).
dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari penipuan.” (HR. Muslim ).
Dan sabdanya kepada orang yang tidak betul shalatnya:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu”.
2. Menghadap ke kiblat:
Yaitu Ka`bah, di mana saja ia berada dengan seluruh tubuhnya (secara sempurna), sambil berniat di dalam hatinya untuk melakukan shalat sesuai yang ia inginkan, apakah shalat wajib atau shalat sunnah, tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya, karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak dibenarkan (oleh syara`), bahkan hal tersebut merupakan perbuatan bid`ah. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat begitu juga para sahabat. Disunnahkan meletakkan sutrah (pembatas) baik sebagai imam atau shalat sendirian karena demikian itu termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat harus menghadap kiblat sebab tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat kecuali dalam kondisi tertentu yang telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
3. Takbiratul ihram dengan mengangkat ke-dua tangan hingga sejajar dengan pundak sambil mengucap Allahu Akbar lalu mengarahkan pandangan ke tempat sujud.
4. Mengangkat kedua tangan di saat bertak-bir hingga sejajar dengan kedua pundak atau sejajar dengan kedua telinganya.
5. Meletakkan kedua tangan di atas dada-nya,
Yaitu dengan meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri, atau pada pergelangan tangan kiri, atau pada lengan tangan kiri, karena hal tersebut ada haditsnya, (seperti) hadits yang bersumber dari Wa’il bin Hujr dan Qubaishah bin Hulb Al-Tha’iy yang ia riwaratkan dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu.
6. Disunnahkan membaca do’a istiftah:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Ya Allah, jauhkanlah antaraku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat; Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku seba-gaimana pakaian putih disucikan dari segala kotoran; Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesa-lahan-kesalahanku dengan air, es dan salju” (Muttafaq `alaih yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).
Boleh juga membaca do’a yang lain sebagai gantinya, seperti:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “ Maha Suci Engkau, Ya Allah, dengan segala puji bagiMu, Maha Mulia NamaMu, dan Maha Tinggi kemuliaanMu, tiada Tuhan yang yang berhak disembah selain Engkau“.
Karena do’a ini ada dalil shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan diperbolehkan membaca do’a istiftah lain dari keduanya yang ada dalil shahihnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun yang lebih afdhal (utama) adalah pada suatu saat membaca do`a istiftah yang pertama dan pada saat yang lain membaca yang kedua atau yang lainnya yang ada dalil shahihnya, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam ber-ittiba` (mencontoh Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam).
Kemudian membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk ” “Dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang“.
Dan dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Tidak syah shalat seseorang yang tidak membaca Surat Al-Fatihah “, dan sesudah itu membaca “Amin” secara jelas (nyaring) dalam shalat jahriyah, dan sirr (tersembunyi) dalam shalat sirriyah.
Kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan diutamakan bacaan dalam shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’ dari surat-surat yang agak panjang, dan pada shalat Shubuh surat-surat yang panjang, sedangkan pada shalat Maghrib surat-surat pendek dan pada suatu saat boleh juga membaca surah yang panjang atau setengah panjang, maksudnya pada shalat Maghrib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan pada shalat Ashar hendaknya membaca surat yang lebih pendek dari pada bacaan shalat dzuhur
7. Ruku` sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pun-dak atau kedua telinga, dengan menjadikan kepala sejajar dengan punggung dan meletakkan kedua tangan pada kedua lutut dengan jari-jari terbuka sambil thuma’ninah di saat ruku` dan mengucapkan:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Maha suci RabbKu Yang Maha Agung”
Dan lebih diutamakan membacanya tiga kali atau lebih, dan di samping itu dianjurkan pula membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Maha Suci Engkau, Wahai Rabb kami dan dengan segala puji bagiMu, Ya Allah, ampunilah aku”.
8. Mengangkat kepala dari ruku’, sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga sambil membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya”.
baik sebagai imam atau shalat sendirian. Lalu di saat berdiri mengucapkan:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Wahai Rabb kami, milikMu segala pujian sebanyak-banyaknya lagi baik dan penuh berkah, sepenuh langit dan bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki kelak”.
Dan jika ditambah lagi sesudah itu dengan do’a:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “ Pemilik puja dan puji, ucapan yang paling haq yang diucapkan oleh seorang hamba; dan semua kami adalah hamba bagiMu; Ya Allah, tiada penghalang terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberikan terhadap apa yang Engkau halangi, tiada berguna bagi orang yang memiliki kemuliaan, karena dariMu lah kemuliaan”.
Maka hal tersebut baik, karena yang demikian itu ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa hadits shahih.
Adapun jika ia sebagai ma’mum, maka di saat mengangkat kepala membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Wahai Rabb kami, milikMu lah segala puji-an“… hingga akhir bacaan di atas.
Dan dianjurkan meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sebagaimana yang ia lakukan pada saat berdiri sebelum ruku`, karena keshahihan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan demikian, yaitu hadits yang bersumber dari Wa’il bin Hujr dan Sahal bin Sa`ad radhiyallahu ‘anhu.
9. Sujud sambil bertakbir dengan meletak-kan kedua lutut sebelum kedua tangan, jika hal tersebut memungkinkan. Dan jika tidak, maka men-dahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut, sambil menghadapkan jari-jari kedua telapak kaki dan jari jari kedua telapak tangan ke qiblat, dengan posisi jari-jari telapak tangan rapat. Dan sujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari kedua telapak kaki, sambil membaca do’a:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.” tiga kali atau lebih:
Dianjurkan pula membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Maha Suci Engkau, Ya Allah Rabb kami, dengan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah aku “.
Dan memperbanyak do’a, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> Adapun ruku`, maka agungkanlah Tuhan pada saat itu, dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo’a, sebab layak untuk diterima bagi kalian.”
Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “ Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah di saat ia sedang sujud, maka dari itu perbanyaklah do’a.”
Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya.
Hendaknya (diwaktu sujud) ia memohon kepa-da Tuhannya kebaikan dunia dan akhirat untuk dirinya dan untuk orang lain dari kaum muslimin, baik itu dalam shalat wajib maupun dalam shalat sunnah. Dan (diwaktu sujud) hendaknya mereng-gangkan kedua lengan tangan dari kedua lambung dan perut dari kedua pahanya sambil mengangkat kedua hasta/lengah tangannya dari tanah, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “ Tegak luruslah kalian di saat sujud dan jangan ada seorang dari kalian meletakkan kedua lengan tangannya seperti anjing meletakkan kedua lengan tangannya.” (Muttafaq `alaih).
10. Mengangkat kepala sambil bertakbir, bertumpu pada kaki kiri dan mendudukinya, sedang-kan kaki kanan ditegakkan, meletakkan kedua tangan di atas ujung kedua paha dan kedua lutut, lalu mem-baca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku. Ya Allah, ampunilah aku, belas kasihilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, berilah aku kesehatan dan tutupilah kekuranganku.”
Hendaknya thuma’ninah (berhenti sebentar) di waktu duduk, hingga setiap persendian benar-benar berada pada posisinya, sebagaimana di saat ia berdiri i`tidal sebelum ruku`, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanjangkan (waktu) i`tidalnya sesudah ruku` dan ketika duduk di antara dua sujud.
11. Sujud yang kedua sambil bertakbir, dalam melakukannya sebagaimana ia melakukan pada sujud pertama.
12. Mengangkat kepala (bangun) sambil bertakbir, dan duduk sejenak seperti duduk antara dua sujud. Ini disebut duduk istirahat, hukumnya sunnah menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat para ulama, dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Dan pada duduk ini tidak ada bacaan atau pun do’a.
Lalu bangkit dan berdiri untuk melakukan raka`at yang kedua dengan bersanggah pada kedua lutut jika memungkinkan, dan jika tidak memung-kinkan, maka bersanggah kepada kedua tangan di atas lantai, kemudian membaca Al-Fatihah dan sete-rusnya seperti apa yang dilakukan pada raka`at yang pertama. Tidak boleh bagi seorang ma’mum menda-hului imam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya dari tindakan seperti itu, demikian juga dibenci memba-rengi imam. Sunnahnya bagi ma`mum, gerakan-gerakannya harus sesudah gerakan-gerakan imam-nya dengan tidak berbarengan, dan harus setelah terhentinya suara imam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “ Sesungguhnya imam itu dijadikan sebagai imam agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, oleh karena itu, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika ia ruku` maka ruku`lah kalian, dan apabila ia membaca: “Sami`allahu liman hamidah”, maka bacalah: “Rabbana wa lakal-hamdu”, dan apabila ia sujud, maka sujudlah kalian” (Muttafaq `alaih).
13. Jika shalat itu adalah shalat dua raka`at, seperti shalat Subuh, shalat Jum`at dan shalat `Id, maka duduk iftirasy setelah bangkit dari sujud kedua, yaitu dengan menegakkan kaki kanan, dan bertumpu pada kaki kiri, tangan kanan diletakkan di atas paha kanan dengan menggenggam semua jari kecuali jari telujuk untuk berisyarat kepada tauhid di saat meng-ingat Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berdo’a. Jika jari manis dan jari kelingking tangan kanan digenggamkan, sedangkan ibu jari dibentuk lingkaran dengan jari tengah dan berisyarat dengan jari telunjuk, maka hal tersebut sangat baik sekali, karena kedua cara tersebut ada di dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan afdhalnya melakukan cara yang pertama pada suatu saat dan cara yang kedua pada saat yang lain. Sedangkan tangan kiri diletakkan di atas (ujung) paha kiri dan lutut; lalu membaca Tasyahhud, yaitu:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->
Kemudian dilanjutkan dengan membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->
Lalu memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal dengan membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->
Kemudian berdo’a, memohon kepada Allah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan apabila berdo`a untuk kedua orang tua atau untuk kaum muslimin, maka dibolehkan, baik di waktu shalat wa-jib ataupun shalat sunnah, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarinya Tasyahhud, beliu bersabda:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Kemudian hendaknya ia memilih do`a yang lebih disukai, lalu berdo`a
Do`a yang disebutkan dalam hadist di atas men-cakup semua apa saja yang berguna bagi seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Setelah itu memberi salam dengan menoleh ke kanan dan salam dengan menoleh ke kiri, seraya mengucapkan:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->
14. Jika shalat yang dikerjakan adalah tiga raka`at, seperti shalat Maghrib, atau empat raka`at, seperti shalat Zhuhur, `Ashar dan Isya’, maka hendak-nya ia membaca tasyahhud tersebut di atas dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian bang-kit dengan bersanggah kepada kedua lututnya, sambil mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak dan membaca Allahu Akbar, lalu mele-takkan kedua tangan di dada sebagaimana diterang-kan di atas kemudian membaca Al-Fatihah saja.
Jika ia membaca surah atau ayat pada raka`at ketiga dan keempat dalam shalat dzuhur sesudah al-Fatihah pada saat-saat tertentu, maka tidak apa-apa. Karena ada hadits shahih yang menunjukkan hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari Abu Sa`id radhiyallahu ‘anhu.
Dan jika tidak membaca shalawat pada tasyah-hud pertama, maka tidak apa-apa, karena hukumnya sunnah, tidak wajib dalam tasyahhud awal. Kemudian membaca tasyahhud setelah raka`at ketiga pada shalat Maghrib, dan setelah raka`at keempat dari shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’, berikut dengan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , dan memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara yang disebutkan di atas (adzab Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehi-dupan dan kematian dan dari kejahatan fitnah Dajjal), lalu perbanyak berdo`a.
Dan di antara do`a yang diajarkan pada akhir tahiyyat (tasyahhud) dan juga dalam kesempatan-kesempatan lainnya adalah:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “ Ya Rabb kami, karuniakan kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api Neraka”.
Karena ada hadits shahih yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> Kebanyakan dari do`a-do`a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah wa qina adzaban nar.
Sebagaimana telah disebutkan di atas dalam shalat yang dua raka`at, hanya saja posisi duduk saat ini adalah duduk tawarruk, yaitu duduk dengan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan dan kemudian mendudukkan pantat di atas tanah, sedangkan kaki kanan tegak, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Humaid. Kemudian memberi salam ke kanan sambil mengucapkan: dan salam ke kiri seraya mengucapkan: <!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->
Sehabis itu beristighfar (memohon ampun) kepada Allah tiga kali, membaca:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Selamat dan dariMu-lah keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Pemilik keagungan dan kemulia-an; tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, milikNya lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah, tiada yang dapat menghalangi terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau halangi, tidaklah bermanfaat kemuliaan bagi pemiliknya kecuali kemuliaan itu dari Engkau. Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepadaNya; kepunyaanNya lah kenikmatan dan milikNya lah karunia, dan bagiNya-lah sanjungan yang baik, tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dengan tulus ikhlas tunduk kepadaNya sekalipun orang-orang kafir tidak suka”.
Kemudian bertasbih (mengucapkan Subhanallah ) sebanyak 33 kali, memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah) 33 kali dan bertakbir (mengucapkan Allahu akbar) 33 kali, serta digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Lalu membaca ayat Kursi, Surat Al-Ikhlash, surat Al-Falaq dan Surah An-Nas pada setiap kali selesai shalat. Dan dianjurkan (disunnahkan) meng-ulang tiga surat tersebut sebanyak 3 kali setelah selesai shalat Maghrib dan shalat subuh, berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menganjurkan tentang hal itu, begitu pula dianjurkan (disunnahkan) menambah dzikir tersebut di atas, terutama setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh dengan dzikir berikut 10 kali:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Semua itu berdasarkan hadits shahih dari Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jika ia sebagai imam, maka hendaknya berbalik menghadap para ma’mum sesudah beristighfar 3 kali dan mengucapkan:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Ya Allah, Engkau Yang Maha selamat dan dariMu lah keselamatan, Maha Tinggi lagi Maha Suci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan”.
Kemudian membaca dzikir-dzikir sebagaimana tersebut di atas, yang banyak disebutkan dalam hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah hadits shahih yang dari `Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Semua dzikir di atas hukumnya sunnah, tidak wajib.
Disunnahkan pula bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan shalat sunnah 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 2 raka`at sesudahnya, 2 raka`at sesudah shalat Maghrib, 2 raka`at sesudah Isya dan 2 raka`at sebelum shalat Subuh. Jumlah kesemuanya 12 raka`at, yang dinamakan shalat rawatib; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menjaganya di waktu muqim, adapun di waktu beper-gian beliau hanya melakukan shalat sunnat Subuh dan witir. Untuk kedua shalat sunnah tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya baik di waktu muqim maupun di waktu bepergian. Beliau adalah teladan bagi kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik”. (Al-Ahzab: 21).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.(HR. Bukhari).
Dan lebih utama (afdhal) shalat-shalat rawatib dan shalat witir dilakukan di rumah, namun jika dilakukan di masjid, maka tidak apa-apa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah, kecuali shalat wajib.” (Hadits ini disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim)
Menjaga shalat rawatib dengan sungguh-sung-guh merupakan bagian dari sebab seseorang masuk Surga, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Ummi Habibah radhiyallahu ‘anhu sesungguh-nya dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Tiada seorang hamba muslim pun yang selalu melakukan shalat sunnat 12 raka`at selain dari shalat wajib pada setiap hari, melainkan Allah bangun untuknya sebuah istana di Surga.”
Dan sesungguhnya Imam At-Tirmidzi di dalam riwayat haditsnya juga menjelaskan (menafsirkan) hadits di atas sebagaimana yang kami sebutkan tadi.
Jika ia melakukan 4 raka`at sebelum shalat Ashar, 2 raka`at sebelum Maghrib, dan dua raka`at sebelum shalat Isya`, maka itu lebih baik sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Allah akan memberi rahmat kepada seseorang yang selalu shalat 4 raka`at sebelum Ashar“. (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan ia menghasankannya; dishahihkan Ibnu Huzaimah, sanad hadits tersebut shahih).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “ Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalatnya, di antara dua adzan ada shalatnya, -Lalu beliau bersabda untuk ketiga kalinya: Bagi yang menghendaki.” (HR. Al-Bukhari)
Dan jika shalat 4 raka`at setelah shalat Zhuhur dan 4 raka`at sebelumnya, maka itu pun baik pula, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--> “Barangsiapa yang menjaga 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 4 raka`at sesudahnya, maka ia diharamkan oleh Allah atas api Neraka.” (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad shahih dari Ummi Habi-bah radhiyallahu ‘anhu)
Maksudnya adalah, ia menambah 2 raka`at atas shalat sunnat rawatib sesudah Zhuhur, karena shalat sunnat rawatib Zhuhur itu 4 raka`at sebelumnya dan 2 raka`at sesudahnya. Maka jika ia melakukan dua rak`at shalat sunnat lagi sesudahnya, tercapailah apa yang disebutkan di dalam hadits Ummi Habibah tersebut.
Dan Allahlah Pemberi taufiq, dan semoga Allah tetap mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Nabi Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada ke-luarga dan para shahabatnya serta para pengikutnya hingga hari Kiamat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar